Rina merebahkan tubuhnya di atas ranjang, mengenakan handuk tipis setelah mandi. Otot-ototnya terasa kaku setelah seharian bekerja. Bram, suaminya, memperhatikannya dari sofa dengan senyum penuh arti.
“Kayaknya kamu butuh pijatan, Sayang,” ujar Bram dengan suara rendah.
Rina mengangguk, matanya setengah terpejam. “Iya, badan aku pegal semua.”
Tanpa banyak bicara, Bram mengambil minyak pijat dari meja dan duduk di tepi ranjang. Tangan hangatnya mulai membelai punggung Rina, mengoleskan minyak dengan gerakan lembut namun mantap. Rina mendesah pelan, menikmati setiap sentuhan suaminya.
Bram tersenyum kecil saat melihat istrinya begitu menikmati pijatan itu. Perlahan, ia meraih ponselnya di atas meja dan mulai merekam. Tak ada niat buruk, hanya ingin mengabadikan momen ini—wajah istrinya yang begitu rileks, tubuhnya yang berkilau di bawah cahaya kamar.
“Aaah… enak banget, Mas…” bisik Rina, menggeliat pelan.
Bram semakin menikmati sensasi ini. Tangannya bergerak lebih pelan, lebih sensual. Jemarinya menelusuri lekuk tubuh istrinya, memberikan pijatan yang lebih dalam, lebih menggoda.
Rina menoleh sedikit, melihat kilatan cahaya dari ponsel suaminya. “Kamu ngapain, Mas?” suaranya lirih, penuh rasa penasaran.
“Buat koleksi pribadi,” jawab Bram dengan senyum menggoda.
Rina tersenyum nakal, lalu berbisik di telinganya. “Kalau gitu, pastikan rekamannya sempurna, ya…”
Bram meletakkan ponselnya di meja dengan posisi menghadap mereka. Malam itu, pijatan sederhana berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih panas dan intim.