Malam itu, hujan turun dengan deras. Angin berembus pelan, membawa hawa dingin yang merasuk ke dalam rumah. Rina meregangkan tubuhnya yang lelah di atas kasur, menghela napas panjang setelah seharian bekerja.
“Aduh, pegal semua badanku,” keluhnya sambil memijat tengkuknya sendiri.
Bram, suaminya, yang sedang duduk di sudut kamar dengan laptopnya, menatap istrinya dengan senyum kecil. “Kenapa nggak panggil tukang pijat aja, Sayang?”
Rina mengangguk pelan. “Kayaknya memang perlu. Badanku rasanya remuk.”
Tanpa banyak bicara, Bram pun mengambil ponselnya dan menghubungi seorang tukang pijat langganan mereka. Tak butuh waktu lama, seorang perempuan paruh baya datang membawa tas kecil berisi minyak pijat.
Bram duduk di kursi dekat kasur, memperhatikan saat Rina mulai tengkurap. Wanita tukang pijat itu mengeluarkan minyak dan mulai menggosokkan ke punggung Rina, membuatnya mendesah pelan karena rasa nyaman yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Tanpa Rina sadari, Bram mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam. Bukan untuk hal buruk—hanya sekadar menyimpan momen istrinya yang terlihat begitu menikmati pijatan. Ia selalu menyukai ekspresi rileks Rina, sesuatu yang jarang ia lihat di tengah kesibukan mereka.
Namun, saat Bram fokus merekam, Rina tiba-tiba menoleh dan melihat suaminya dengan tatapan heran. “Kamu ngapain, Mas?” tanyanya dengan nada menggoda.
Bram tersenyum dan mengangkat ponselnya. “Buat kenang-kenangan. Kamu kelihatan cantik banget pas lagi dipijat begini.”
Rina tertawa pelan, lalu menggeleng. “Awas aja kalau videonya disebar!”
Bram hanya tertawa kecil dan mematikan rekaman, menikmati momen kebersamaan mereka di tengah rintik hujan yang masih terus turun di luar.
