Malam itu, Rina merebahkan tubuhnya di atas ranjang, mengenakan kain tipis yang membalut tubuhnya. Suaminya, Adrian, sedang dinas ke luar kota, meninggalkan dirinya sendirian di rumah. Merasa tubuhnya pegal setelah seharian beraktivitas, ia akhirnya menghubungi seorang tukang pijat langganan yang sering dipakai teman-temannya.
Tak butuh waktu lama, Dani, pria dengan tubuh kekar dan tangan terampil, tiba di rumahnya. Rina sedikit terkejut, biasanya tukang pijat yang ia panggil adalah perempuan. Namun, suara berat Dani dan tatapannya yang tajam membuatnya enggan membatalkan.
Rina tengkurap di atas ranjang, membiarkan Dani menuangkan minyak hangat ke punggungnya. Jemari kuat itu mulai bergerak, menekan otot-otot yang tegang. Setiap sentuhan terasa lebih dari sekadar pijatan biasa—ada kehangatan, ada intensitas yang membuat Rina menggigit bibirnya.
“Nyonya pegalnya di bagian sini, ya?” suara Dani terdengar serak saat tangannya bergerak lebih pelan, lebih sensual.
Rina menahan napas. Dadanya naik turun, matanya terpejam menikmati sensasi yang seharusnya tidak ia rasakan dari pria lain. Pijatan Dani semakin turun, jari-jarinya menyusuri batas kain yang membungkus tubuhnya.
“Jangan…” bisik Rina, tapi tubuhnya tak bergerak menolak.
Dani mendekat, napasnya terasa di tengkuk wanita itu. “Saya bisa berhenti kalau Nyonya mau,” suaranya lirih, penuh tantangan.
Namun, di antara pijatan yang membius dan godaan yang semakin panas, Rina tahu batas itu telah kabur. Malam yang seharusnya biasa berubah menjadi rahasia yang tak bisa diungkapkan.