Udara sore terasa hangat di dalam rumah itu, meski di luar langit mulai mendung. Ruangan yang remang-remang hanya diterangi lampu kecil di sudut ruangan, memberikan suasana yang tenang. Di atas matras pijat, Nadine berbaring dengan mata terpejam, tubuhnya rileks setelah hari yang melelahkan.
“Punggungnya tegang sekali, Bu,” ujar Adrian, pria yang berdiri di sampingnya, tangan kuatnya bekerja di bahu wanita itu dengan penuh kehati-hatian.
Nadine menghela napas, senyum tipis terulas di wajahnya. “Sudah lama tidak dipijat, rasanya enak sekali.”
Adrian tersenyum, melanjutkan tekanan lembutnya di punggung wanita itu. Minyak pijat yang ia gunakan memberikan kilauan halus di kulit Nadine, menciptakan aroma yang menenangkan. Ia telah sering menangani klien seperti ini, tetapi ada sesuatu yang berbeda malam ini.
Keheningan mengisi ruangan, hanya terdengar suara napas Nadine yang semakin lambat, semakin dalam. Saat jemari Adrian turun ke punggung bagian bawah, Nadine sedikit menggeliat, lalu membuka matanya perlahan.
“Aku tidak tahu kalau pijatan bisa terasa seintim ini,” bisiknya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Adrian berhenti sejenak, menatapnya. Mata mereka bertemu dalam keheningan yang berbicara lebih dari kata-kata. Ada sesuatu di sana—sebuah ketertarikan yang tak terucap, tetapi jelas terasa di udara di antara mereka.
Tanpa sadar, Nadine menggigit bibirnya, seolah menimbang sesuatu. Kemudian, perlahan, ia berbalik, wajahnya hanya beberapa inci dari Adrian.
“Kau yakin?” tanya Adrian, suaranya serak.
Nadine tak menjawab, hanya menatapnya lebih dalam sebelum jemarinya menyentuh pergelangan tangan pria itu.
Dan di ruangan yang sunyi itu, batasan yang seharusnya ada perlahan mulai memudar, tergantikan oleh sesuatu yang lebih mendalam—sesuatu yang tak bisa mereka hentikan lagi.
Di luar, hujan mulai turun, menutupi suara-suara di dalam rumah, membiarkan malam itu menjadi rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu.
