Langit malam menggelap, dan hanya lampu-lampu temaram di balkon yang menjadi saksi bisu percakapan mereka. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma melati yang samar dari taman belakang.
Dinda, wanita berusia awal empat puluhan dengan pesona yang tak luntur oleh waktu, duduk di sofa dengan segelas anggur merah di tangannya. Kulitnya yang halus diterangi cahaya lilin di meja kecil di sampingnya. Senyumnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu—sebuah ketertarikan yang sengaja dibiarkan menggantung.
“Apa kau sering duduk di sini sendirian?” tanya Raka, pria muda yang duduk di seberangnya.
Dinda tersenyum tipis. “Kadang. Aku suka menikmati malam seperti ini.”
Raka menyesap anggurnya perlahan, matanya tak lepas dari wajah wanita itu. Ada ketertarikan yang tak terucapkan, sesuatu yang menggetarkan udara di antara mereka. Jarak mereka tidak dekat, tapi kehangatan mulai merayap di antaranya, menyelinap masuk seperti desir angin yang membawa rahasia.
Dinda menyilangkan kakinya, roknya sedikit tersingkap, memperlihatkan kulit mulusnya yang diterangi cahaya lampu. Bukan sesuatu yang disengaja, tapi cukup untuk menarik perhatian. Raka menelan ludah, matanya hanya sekilas melirik sebelum kembali bertemu dengan tatapan Dinda.
“Kau tampak gelisah,” ujar Dinda, suaranya lembut, hampir seperti bisikan.
Raka tertawa kecil. “Bukan gelisah, hanya… menikmati suasana.”
Dinda mengangguk, lalu berdiri, berjalan perlahan ke arah balkon. Raka mengikuti langkahnya dengan mata, menikmati keanggunan setiap gerakannya. Saat wanita itu bersandar di pagar, angin meniup helai rambut panjangnya, membuatnya tampak seperti lukisan hidup yang penuh dengan pesona.
Raka ikut berdiri, berdiri di sampingnya. Jarak mereka sangat dekat, cukup untuk merasakan kehangatan tubuh masing-masing. Dinda menoleh, menatapnya dalam.
“Kau sangat muda,” katanya pelan.
“Dan kau sangat memikat,” jawab Raka tanpa ragu.
Dinda tersenyum tipis. “Hati-hati dengan kata-kata manismu. Itu bisa menjadi awal dari sesuatu yang tak bisa dihentikan.”
Raka meraih tangannya, jemarinya menyentuh lembut punggung tangan Dinda. Wanita itu tidak menolak, hanya membiarkan sentuhan itu terjadi. Ada ketegangan halus di udara, sebuah gairah yang belum dilepaskan.
Malam terus bergulir, dan dalam cahaya redup, sesuatu yang selama ini terpendam mulai menemukan jalannya…