Hujan turun perlahan di luar jendela, menetes di kaca dengan ritme yang hampir sama dengan detak jantungnya. Udara di kamar sempit itu terasa hangat, meskipun dingin dari luar masih tersisa di kulitnya.
Naya duduk di tepi ranjang, lututnya menyentuh paha Bara yang bersandar di belakangnya. Mereka telah menghabiskan malam dengan menonton film, tapi sejak tadi tak ada yang benar-benar fokus. Matanya menatap layar, tapi pikirannya tersesat pada keberadaannya di ruangan ini, di sampingnya.
Bara diam, tapi ia bisa merasakan napasnya yang perlahan berubah.
“Apa?” Naya bertanya pelan, separuh senyum menghiasi bibirnya.
Bara menggeleng kecil. “Nggak apa-apa.”
Tapi ekspresinya berkata lain. Ada sesuatu di sorot matanya, sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Naya menelan ludah, lalu tanpa sadar menggerakkan jemarinya, menyentuh lengan kekar yang bersandar di sisi tubuhnya.
Sentuhan itu sepele—hanya jari yang bersinggungan di kulit, tapi keduanya tahu itu bukan kebetulan.
“Nay…” suara Bara terdengar lebih dalam dari biasanya, lebih berat.
Ia tak menjawab. Ia hanya membiarkan tangannya tetap di sana, membiarkan jarinya mengusik udara yang semakin tegang.
Bara menelan napas. Ia bisa merasakan sesuatu bergeser, sesuatu yang perlahan tumbuh di antara keheningan mereka.
Naya tidak terburu-buru. Ia ingin menikmati ketegangan ini, menikmati bagaimana udara di sekitar mereka terasa lebih berat, lebih panas, lebih mendesak. Ia melihat Bara memejamkan mata sejenak, tubuhnya menegang sesaat sebelum akhirnya melepaskan napas panjang.
Di luar, hujan masih turun, membasahi malam. Tapi di dalam ruangan kecil itu, kehangatan perlahan mengambil alih, membakar pelan tapi pasti.