Lampu temaram di kamar hotel menciptakan bayangan samar di dinding. Aku duduk di sudut ruangan, gelas wine di tanganku berembun oleh suhu dingin yang bertolak belakang dengan kehangatan yang mulai merayap di udara. Mataku tertuju pada mereka—dua sosok di atas ranjang, tenggelam dalam dunia yang seakan hanya milik mereka berdua.
Istriku terlihat berbeda malam ini. Tatapannya mengandung sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya—campuran antara keberanian dan kenikmatan yang membara. Aku bisa melihat bagaimana tubuhnya merespons sentuhan pria lain itu, pria yang telah kami pilih bersama. Tidak ada kecanggungan, tidak ada rasa bersalah, hanya kepasrahan pada gelombang yang tak bisa dihentikan.
Aku mengamati setiap gerakan, setiap desahan yang lolos dari bibirnya, dan merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan dalam dadaku. Ini lebih dari sekadar gairah—ini adalah dorongan yang primitif, mendalam, dan tak terelakkan. Aku tidak merasa tersisih, justru sebaliknya. Aku adalah bagian dari momen ini, meskipun bukan sebagai pelaku utama.
Dia menoleh ke arahku, matanya berkilat dengan pengakuan yang tak perlu diucapkan. Dia tahu aku ada di sana. Dia tahu aku melihat, dan itu membuatnya semakin berani. Ada sesuatu yang tak terkatakan dalam sorot matanya—sebuah tantangan, sebuah undangan.
Aku meremas gelasku lebih erat, merasakan napasku sendiri yang mulai berat. Aku tak bergerak, membiarkan pemandangan di depanku terus berlangsung, membiarkan gelombang sensasi dan emosi ini membanjiriku. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Tidak ada kecemburuan, tidak ada penyesalan. Hanya ada gairah yang mengalir tanpa batas, membakar setiap inci ruangan ini.
Dan di malam yang panjang itu, aku menyadari bahwa batasan yang dulu kupikir ada, telah runtuh. Yang tersisa hanyalah keinginan yang terus membara, dan sebuah pemahaman baru tentang hasrat yang tak terduga.
